bukan kisah dongeng lainnya..
kisah perjuangan.. kcintaan trhadap dakwah..
*) copas
“Memang seperti itu dakwah. Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai”. (KH Rahmat Abdullah)
Sangat banyak kader dakwah yang memiliki konsistensi melakukan khidmah melayani masyarakat dalam bidang-bidang yang spesifik. Salah satunya adalah Aryo Yudhoko, seorang kader dakwah yang konsisten menggeluti dunia buruh dengan segala permasalahannya. Aryo adalah salah satu “ikon buruh”, yang sejak awal keterlibatannya dalam dunia dakwah, ia telah meletakkan diri pada bidang ini.
Belum sempat kita semua berkenalan dengan kader yang satu ini, terlanjur Allah memanggilnya menghadap ke haribaan. Hari Kamis 15 Oktober 2011 tengah malam, Allah memanggil Aryo, di saat ia sangat lelah menyiapkan acara untuk para buruh, yaitu Jambore Buruh Nasional yang direncanakan akan dilaksanakan pada 28 Oktober 2011 mendatang. Kita semua sangat kehilangan dengan kader muda yang sangat energik untuk membina para buruh ini.
Aryo Yudhoko, Sang Pejuang Perburuhan
Aryo adalah alumnus FISIP Universitas Indonesia, sempat bekerja di Bank Muamalat dan mendirikan Serikat Pekerja di lembaga tersebut. Namun karena ingin konsentrasi melakukan advokasi terhadap hak-hak buruh, ia memilih keluar dari pekerjaan formalnya tersebut, dan totalitas terjun dalam advokasi perburuhan serta pembinaan para buruh.
Konsistensi Aryo menekuni bidang perburuhan sangat pantas mendapat acungan jempol. Ia ikut terlibat dalam kegiatan Advokasi Buruh Migran UNIMIG (Union Migrant) Indonesia, ia juga sempat menjadi Sekjen Asosiasi Pekerja (Aspek), ia juga aktif dan deklarator Serikat Pekerja Keadilan (SPK) bersama Edy Zannur dan Martri Agoeng, dan sejumlah orgnaisasi perburuhan lainnya.
Selama berkiprah dalam menangani perburuhan, ia mengembangkan komunikasi dan jaringan dengan berbagai asosiasi dan serikat buruh yang ada di Indonesia. Berbagai aktivitas bersama para buruh telah dia jalani dengan sepenuh ketekunan, walaupun kegiatan di sektor ini sering kali tidak memiliki “gebyar” sebagaimana di bidang lain. Bahkan mungkin tidak banyak mendapat perhatian publik.
Aryo Yudhoko juga aktif berkeliling Indonesia untuk menumbuhkan kepedulian para kader dakwah terhadap nasib perburuhan yang kerap dilupakan. Suatu saat Aryo menghadiri acara Temu Masyarakat Perkantoran di Aula Komplek DPR RI Kalibata Jakarta Selatan. Dalam acara tersebut Aryo menghimbau agar kader dakwah yang berprofesi sebagai pekerja di perusahaan milik negara maupun di perusahaan swasta harus peduli terhadap permasalahan buruh.
Untuk dapat mengetahui berbagai permasalahan yang di hadapi para buruh, Aryo menghimbau agar kader dakwah bergabung dalam kegiatan-kegiatan yang diselenggarakan oleh para buruh. “Menebar kebaikan di kantor tidak hanya sebatas pengajian. Semua kegiatan yang memberikan kebaikan kepada semua orang adalah dakwah” jelas Aryo. Karenanya, ia meminta kader dakwah untuk terjun dalam aktivitas serikat pekerja, koperasi dan kegiatan keumatan.
Aryo Yudhoko juga mensosialisasikan berbagai program perburuhan, diantaranya pembinaan terhadap aktivis buruh, pemberian advokasi, pendirian cabang Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI), pelatihan penguatan keorganisasian dan kongres organisasi buruh tani dan nelayan.
Aryo juga pernah berkunjung ke wilayah Jawa Timur selama enam hari berturut-turut. Aryo didampingi aktivis perburuhan melakukan silaturahim ke daerah Jatim yang menjadi kantong buruh, tani dan nelayan. Di antaranya adalah daerah Malang Raya, Surabaya, Sidoarjo, Mojokerto, Jombang, Ngajuk, Lamongan, dan Gresik.
“Dakwah yang akan kita kembangkan adalah penyiapan dan pembekalan struktur, pembinaan dan pendampingan kaum buruh, tani, dan nelayan. Saya berpendapat bahwa mereka adalah kalangan potensial bagi Jatim yang wilayahnya notabene banyak desa dan laut,” kata Aryo saat temu kader dakwah di Surabaya.
Menurut Aryo, yang sudah digagas sampai saat ini adalah membuat jaringan buruh, tani, dan nelayan di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. “Di daerah tersebut kita sudah kerap kali melakukan pembinaan dan pendampingan terhadap kalangan buruh, tani, dan nelayan,” katanya. Untuk wilayah DKI, relatif sudah lebih maju dalam penggarapan kalangan buruh dibanding wilayah lainnya.
Khusus untuk buruh tingkat nasional, salah satu bentuk advokasi yang pernah dilakukan Aryo adalah bersama-sama anggota legislatif melakukan penolakan revisi UU nomer 13 tahun 2003 yang mencapai klimaksnya pada 1 Mei 2006.
Ia Ingin Pulang
Luar biasa, kader dakwah yang satu ini seperti tidak mengenal lelah. Hari-hari dipenuhi dengan berbagai kegiatan bersama buruh tani dan nelayan. Sampai kadang beberapa hari tidak sempat pulang, karena maraton dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya.
Kamis kemarin, 15 Oktober 2011, sampai dengan jam 21.00 Aryo Yudhoko masih melaksanakan rapat bersama para aktivis dakwah di Tangerang. Saat itulah Aryo mendapatkan perintah agar segera merapat ke Markaz Dakwah di Pasar Minggu, karena harus segera berkoordinasi dengan Panitia Jambore Buruh Nasional.
Begitulah Aryo Yudhoko, dari rapat di Tangerang, ia segera meluncur untuk rapat lagi di MD Building wilayah Pasar Minggu. Iapun segera datang dan melakukan rapat koordinasi untuk kegiatan Jambore Buruh Nasional. Rapat di MD Building berakhir sudah lewat dari jam 23.00 wib.
Seorang ikhwah bertanya kepada Aryo, “Antum tidak pulang malam ini?” Pertanyaan ini terlontar karena sudah beberapa malam Aryo menginap di MD Building. Aktivitas mengelola Jambore Buruh Nasional telah menguras energinya, sampai kadang kamalaman dan memutuskan untuk tidur di Markaz Dakwah.
“Saya akan pulang malam ini”, jawab Aryo.
Namun Aryo menyempatkan diri untuk datang ke ahli refleksi di Pasar Minggu terlebih dahulu untuk menyegarkan badannya. Mungkin saat itu ia merasa sudah sangat tidak enak badan. Maka sebelum pulang ingin refleksi supaya pulang dalam kondisi lebih segar.
Kurang lebih pukul 24.00 wib, Allah memanggilnya. Di saat kelelahan puncaknya. Di saat ia ingin sejenak istirahat. Di saat rasa jenuh dan penat akibat maraton berkegiatan, dari rapat ke rapat, dari koordinasi ke koordinasi, dari advokasi ke advokasi. Semua untuk umat, semua untuk masyarakat, semua untuk buruh tani dan nelayan yang sangat dicintainya.
Aryo Yudhoko wafat pada kondisi tengah menunaikan amanah-amanah dakwah. Berhari-hari tidak pulang, tidak sempat bertemu denga isteri tercinta dan lima buah hatinya. Malam ini ia ingin pulang, sebagaimana disampaikan kepada seorang ikhwah usai rapat di MD Building.
“Saya akan pulang malam ini”.
Tapi badannya sungguh lelah. Tubuhnya sungguh gerah. berhari-hari terlibat aktivitas yang sangat padat. Menguras semua tenaga dan pikirannya. Dan ternyata ia benar-benar pulang malam itu. Benar-benar pulang.
Allah Yang Maha Pengasih, telah memanggilnya malam itu. Pulang ke haribaan-Nya.
Memang Begitulah Dakwah
Mendengar kisah menjelang wafatnya Aryo Yudhoko, saya segera teringat tausiyah ustadzuna Rahmat Abdullah, Allah yarham. Aryo menghadap Allah pada kondisi tubuhnya yang lelah didera amanah dakwah. Pikiran yang dipenuhi berbagai keinginan untuk berbuat terbaik bagi masyarakat perburuhan. Hati yang dipenuhi kecintaan tiada batas kepada jalan dakwah yang menghantarkannya pulang.
Cobalah sekali lagi kita baca tausiyah ustadz Rahmat Abdullah ini. Beribu kali saya membaca kalimat ini, rasanya tidak pernah bosan mengulangnya. Mengiring kepergian kader dakwah perburuhan, Aryo Yudhoko, kita menjadi lebih mengerti makna pesan beliau ini:
“Memang seperti itu dakwah. Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai”.
“Lagi-lagi memang seperti itu. Dakwah. Menyedot saripati energimu. Sampai tulang belulangmu. Sampai daging terakhir yang menempel di tubuh rentamu. Tubuh yang luluh lantak diseret-seret. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari”.
“Seperti itu pula kejadiannya pada rambut Rasulullah. Beliau memang akan tua juga. Tapi kepalanya beruban karena beban berat dari ayat yang diturunkan Allah”.
“Sebagaimana tubuh mulia Umar bin Abdul Aziz. Dia memimpin hanya sebentar. Tapi kaum muslimin sudah dibuat bingung. Tidak ada lagi orang miskin yang bisa diberi sedekah. Tubuh mulia itu terkoyak-koyak. Sulit membayangkan sekeras apa sang Khalifah bekerja. Tubuh yang segar bugar itu sampai rontok. Hanya dalam dua tahun ia sakit parah kemudian meninggal. Toh memang itu yang diharapkannya; mati sebagai jiwa yang tenang”.
“Dakwah bukannya tidak melelahkan. Bukannya tidak membosankan. Dakwah bukannya tidak menyakitkan. Bahkan juga para pejuang risalah bukannya sepi dari godaan kefuturan”.
“Tidak. Justru kelelahan. Justru rasa sakit itu selalu bersama mereka sepanjang hidupnya. Setiap hari. Satu kisah heroik, akan segera mereka sambung lagi dengan amalan yang jauh lebih tragis”.
Selamat jalan, Aryo Yudhoko. Kami semua bersaksi atas kebaikan diri dan kebaikan amalmu. Bahagialah engkau di sisi TuhanMu Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
*posted by: Blog - Bekerja Untuk Indonesia
Luar biasa, kader dakwah yang satu ini seperti tidak mengenal lelah. Hari-hari dipenuhi dengan berbagai kegiatan bersama buruh tani dan nelayan. Sampai kadang beberapa hari tidak sempat pulang, karena maraton dari satu kegiatan ke kegiatan lainnya.
Kamis kemarin, 15 Oktober 2011, sampai dengan jam 21.00 Aryo Yudhoko masih melaksanakan rapat bersama para aktivis dakwah di Tangerang. Saat itulah Aryo mendapatkan perintah agar segera merapat ke Markaz Dakwah di Pasar Minggu, karena harus segera berkoordinasi dengan Panitia Jambore Buruh Nasional.
Begitulah Aryo Yudhoko, dari rapat di Tangerang, ia segera meluncur untuk rapat lagi di MD Building wilayah Pasar Minggu. Iapun segera datang dan melakukan rapat koordinasi untuk kegiatan Jambore Buruh Nasional. Rapat di MD Building berakhir sudah lewat dari jam 23.00 wib.
Seorang ikhwah bertanya kepada Aryo, “Antum tidak pulang malam ini?” Pertanyaan ini terlontar karena sudah beberapa malam Aryo menginap di MD Building. Aktivitas mengelola Jambore Buruh Nasional telah menguras energinya, sampai kadang kamalaman dan memutuskan untuk tidur di Markaz Dakwah.
“Saya akan pulang malam ini”, jawab Aryo.
Namun Aryo menyempatkan diri untuk datang ke ahli refleksi di Pasar Minggu terlebih dahulu untuk menyegarkan badannya. Mungkin saat itu ia merasa sudah sangat tidak enak badan. Maka sebelum pulang ingin refleksi supaya pulang dalam kondisi lebih segar.
Kurang lebih pukul 24.00 wib, Allah memanggilnya. Di saat kelelahan puncaknya. Di saat ia ingin sejenak istirahat. Di saat rasa jenuh dan penat akibat maraton berkegiatan, dari rapat ke rapat, dari koordinasi ke koordinasi, dari advokasi ke advokasi. Semua untuk umat, semua untuk masyarakat, semua untuk buruh tani dan nelayan yang sangat dicintainya.
Aryo Yudhoko wafat pada kondisi tengah menunaikan amanah-amanah dakwah. Berhari-hari tidak pulang, tidak sempat bertemu denga isteri tercinta dan lima buah hatinya. Malam ini ia ingin pulang, sebagaimana disampaikan kepada seorang ikhwah usai rapat di MD Building.
“Saya akan pulang malam ini”.
Tapi badannya sungguh lelah. Tubuhnya sungguh gerah. berhari-hari terlibat aktivitas yang sangat padat. Menguras semua tenaga dan pikirannya. Dan ternyata ia benar-benar pulang malam itu. Benar-benar pulang.
Allah Yang Maha Pengasih, telah memanggilnya malam itu. Pulang ke haribaan-Nya.
Memang Begitulah Dakwah
Mendengar kisah menjelang wafatnya Aryo Yudhoko, saya segera teringat tausiyah ustadzuna Rahmat Abdullah, Allah yarham. Aryo menghadap Allah pada kondisi tubuhnya yang lelah didera amanah dakwah. Pikiran yang dipenuhi berbagai keinginan untuk berbuat terbaik bagi masyarakat perburuhan. Hati yang dipenuhi kecintaan tiada batas kepada jalan dakwah yang menghantarkannya pulang.
Cobalah sekali lagi kita baca tausiyah ustadz Rahmat Abdullah ini. Beribu kali saya membaca kalimat ini, rasanya tidak pernah bosan mengulangnya. Mengiring kepergian kader dakwah perburuhan, Aryo Yudhoko, kita menjadi lebih mengerti makna pesan beliau ini:
“Memang seperti itu dakwah. Dakwah adalah cinta. Dan cinta akan meminta semuanya dari dirimu. Sampai pikiranmu. Sampai perhatianmu. Berjalan, duduk, dan tidurmu. Bahkan di tengah lelapmu, isi mimpimu pun tentang dakwah. Tentang umat yang kau cintai”.
“Lagi-lagi memang seperti itu. Dakwah. Menyedot saripati energimu. Sampai tulang belulangmu. Sampai daging terakhir yang menempel di tubuh rentamu. Tubuh yang luluh lantak diseret-seret. Tubuh yang hancur lebur dipaksa berlari”.
“Seperti itu pula kejadiannya pada rambut Rasulullah. Beliau memang akan tua juga. Tapi kepalanya beruban karena beban berat dari ayat yang diturunkan Allah”.
“Sebagaimana tubuh mulia Umar bin Abdul Aziz. Dia memimpin hanya sebentar. Tapi kaum muslimin sudah dibuat bingung. Tidak ada lagi orang miskin yang bisa diberi sedekah. Tubuh mulia itu terkoyak-koyak. Sulit membayangkan sekeras apa sang Khalifah bekerja. Tubuh yang segar bugar itu sampai rontok. Hanya dalam dua tahun ia sakit parah kemudian meninggal. Toh memang itu yang diharapkannya; mati sebagai jiwa yang tenang”.
“Dakwah bukannya tidak melelahkan. Bukannya tidak membosankan. Dakwah bukannya tidak menyakitkan. Bahkan juga para pejuang risalah bukannya sepi dari godaan kefuturan”.
“Tidak. Justru kelelahan. Justru rasa sakit itu selalu bersama mereka sepanjang hidupnya. Setiap hari. Satu kisah heroik, akan segera mereka sambung lagi dengan amalan yang jauh lebih tragis”.
Selamat jalan, Aryo Yudhoko. Kami semua bersaksi atas kebaikan diri dan kebaikan amalmu. Bahagialah engkau di sisi TuhanMu Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
*posted by: Blog - Bekerja Untuk Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar